Kondisi yang terjadi saat ini dengan adanya rescaduling ujian nasional (UN) di 11 propinsi menimbulkan pertanyaan: ada apa dengan ujian nasional (UN)?
Carut marut ujian nasional (UN) tahun ini benar-benar sudah mencapai puncaknya. Tertundanya UN untuk tingkat SMA/SMK dan sederajat di 11 provinsi, ini membuktikan bahwa negara telah lalai dalam memenuhi hak anak atas pendidikan.
Carut marut tersebut bahkan bukan cuma berhenti pada penundaan.
Penjadwalan ulang UN di 11 provinsi yang semestinya mulai Kamis (18/4) pun berlangsung secara tidak sempurna.
Di Kalimantan Timur misalnya, UN tidak berlangsung di seluruh wilayah provinsi itu karena dari 333 sekolah hanya 155 sekolah yang mendapatkan naskah soal UN. Dengan demikian mata pelajaran yang mestinya diuji kemarin ditunda ke Kamis (25/4) pekan depan.
Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, UN juga tidak terselenggara kemarin. Akibatnya mata pelajaran yang dijadwalkan diuji digeser ke Rabu (24/4). Sedangkan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, UN yang harusnya berlangsung pagi hari diundur menjadi siang hari.
Itu semua cukup untuk menyebut Kemendikbud telah gagal menyelenggarakan UN dengan baik. Kita pun mempertanyakan keseriusan pemerintah memperbaiki kualitas UN.
Kemendikbud juga gagal melaksanakan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden antara lain memerintahkan Mendikbud menyiapkan segala sesuatu bagi pelaksanaan UN yang tertunda di 11 provinsi.
Lebih dari itu, carut marut pelaksanaan UN tahun ini menunjukkan pemerintah secara kolektif tidak mematuhi hukum. Sebab, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST tertanggal 27 Mei 2007 sudah memerintahkan Presiden, Wakil Presiden, Mendikbud, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan untuk memperbaiki sarana dan prasarana ujian nasional.
Keputusan PN Pusat termasuk mengharuskan pemerintah meningkatkan kualitas guru dan akses informasi ke daerah sebelum ujian nasional dilaksanakan.
Potensi pengabaian hukum bisa juga terjadi akibat adanya perintah untuk memfotokopi soal UN. Itu dilakukan demi mengejar keterlambatan ketersediaan soal UN di sejumlah tempat.
Disebut berpotensi melanggar hukum karena soal UN termasuk rahasia negara. Memfotokopi berarti memperbesar kemungkinan bocornya soal UN.
Penundaan UN juga berpotensi mengganggu psikologi siswa. Alih-alih membuat siswa punya lebih banyak waktu belajar, penundaan UN justru membuat siswa semakin gelisah menantikan hari ujian.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung bahkan menguatkan putusan PN Jakarta Pusat tersebut. Itu artinya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengupayakan dan melaksanakan perbaikan penyelenggaraan UN.
Namun, faktanya UN bukan cuma sengkarut, tapi juga gagal. Semua itu lebih dari cukup bagi kita untuk mendesak pemerintah menyatakan UN tahun ini ialah UN terakhir sebelum pemerintah memastikan bahwa seluruh tuntutan dalam putusan pengadilan terpenuhi.
Pemerintah harus mulai memikirkan model ujian untuk mengukur potensi akademik siswa sebagai pengganti UN.
Carut marut tersebut bahkan bukan cuma berhenti pada penundaan.
Penjadwalan ulang UN di 11 provinsi yang semestinya mulai Kamis (18/4) pun berlangsung secara tidak sempurna.
Di Kalimantan Timur misalnya, UN tidak berlangsung di seluruh wilayah provinsi itu karena dari 333 sekolah hanya 155 sekolah yang mendapatkan naskah soal UN. Dengan demikian mata pelajaran yang mestinya diuji kemarin ditunda ke Kamis (25/4) pekan depan.
Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, UN juga tidak terselenggara kemarin. Akibatnya mata pelajaran yang dijadwalkan diuji digeser ke Rabu (24/4). Sedangkan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, UN yang harusnya berlangsung pagi hari diundur menjadi siang hari.
Itu semua cukup untuk menyebut Kemendikbud telah gagal menyelenggarakan UN dengan baik. Kita pun mempertanyakan keseriusan pemerintah memperbaiki kualitas UN.
Kemendikbud juga gagal melaksanakan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden antara lain memerintahkan Mendikbud menyiapkan segala sesuatu bagi pelaksanaan UN yang tertunda di 11 provinsi.
Lebih dari itu, carut marut pelaksanaan UN tahun ini menunjukkan pemerintah secara kolektif tidak mematuhi hukum. Sebab, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST tertanggal 27 Mei 2007 sudah memerintahkan Presiden, Wakil Presiden, Mendikbud, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan untuk memperbaiki sarana dan prasarana ujian nasional.
Keputusan PN Pusat termasuk mengharuskan pemerintah meningkatkan kualitas guru dan akses informasi ke daerah sebelum ujian nasional dilaksanakan.
Potensi pengabaian hukum bisa juga terjadi akibat adanya perintah untuk memfotokopi soal UN. Itu dilakukan demi mengejar keterlambatan ketersediaan soal UN di sejumlah tempat.
Disebut berpotensi melanggar hukum karena soal UN termasuk rahasia negara. Memfotokopi berarti memperbesar kemungkinan bocornya soal UN.
Penundaan UN juga berpotensi mengganggu psikologi siswa. Alih-alih membuat siswa punya lebih banyak waktu belajar, penundaan UN justru membuat siswa semakin gelisah menantikan hari ujian.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung bahkan menguatkan putusan PN Jakarta Pusat tersebut. Itu artinya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengupayakan dan melaksanakan perbaikan penyelenggaraan UN.
Namun, faktanya UN bukan cuma sengkarut, tapi juga gagal. Semua itu lebih dari cukup bagi kita untuk mendesak pemerintah menyatakan UN tahun ini ialah UN terakhir sebelum pemerintah memastikan bahwa seluruh tuntutan dalam putusan pengadilan terpenuhi.
Pemerintah harus mulai memikirkan model ujian untuk mengukur potensi akademik siswa sebagai pengganti UN.
Editorial Media Indonesia
What's up to all, how is the whole thing, I think every one is getting more from this website, and your views are fastidious in support of new viewers.
BalasHapusHere is my blog :: www.youtube.com/watch?v=B9KThvUF8qM