Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) telah
terbukti sebagai pelaku usaha yang paling tangguh di Indonesia. Setidaknya hal
tersebut telah teruji saat Indonesia terkena krisis moneter pada tahun 1997.
Ketika itu kedikdayaan mayoritas perusahaan besar di Tanah Air runtuh.
Begitu juga saat resesi perekonomian di Eropa menjalar ke negara lain tak
terkecuali ke Indonesia. Waktu itu perusahaan besar di Indonesia juga terimbas
meski tidak berat.
Namun tidak dengan UMKM. Usaha perekonomian
ini tahan banting. Saat ini 97 persen tenaga kerja Indonesia diserap oleh UMKM.
Mengingat ketangguhan usaha ekonomi ini sangat mempuni dan telah teruji, maka
tak salah pula kiranya pemerintah memiliki perhatian khusus terhadap keberadaan
dan perkembangan UMKM itu sendiri. Perhatian itu ditunjukkan melalui berbagai
program pemerintah yang pro terhadap perkembangan dan pertumbuhan UMKM.
Tapi pada semester kedua tahun 2013,
keberadaan UMKM di negeri ibu pertiwi ini akan mendapatkan ujian yang sangat
berat. Pertama, naiknya
harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai Sabtu (22/6) lalu. Harga
premium naik dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.500 per liter. Sedangkan
harga solar bersubsidi naik dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 5.500 per liter.
Akibat kenaikan harga BBM biaya operasional UMKM meningkat. Ujian berat kedua bagi
UMKM adalah menghadapi naiknya harga-harga barang sebagai dampak dari kenaikan
harga BBM.
Ujian berat ketiga bagi
UMKM adalah pemberlakuan PP No. 46 Tahun 2013 tentang “Pajak penghasilan (PPh) atas
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu dimaksudkan agar pelaku UMKM dapat mengkapitalisasi
keuntungannya. PP ini akan mulai berlaku Senin, 1 Juli 2013. Setiap usaha
menengah yang memiliki omset Rp4,8 miliar pertahun akan dikenakan PPh sebesar 1persen.
Wajib pajak yang tidak dikenakan aturan ini
adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan
atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sarana atau prasarana yang dapat
dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap, seperti pedagang kaki
lima misalnya.
Berikutnya yang tidak dikenakan aturan
ini adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dengan
menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan seperti pedagang makanan
keliling, pedagang asongan dan warung tenda di trotoar. Selain itu, yang tidak
terkena aturan ini adalah wajib pajak badan yang belum beroperasi secara
komersial atau dalam jangka waktu satu tahun setelah beroperasi secara
komersial yang memperoleh omzet melebihi Rp 4,8 miliar.
Menghadapi kondisi ini, nasib UMKM khususnya
yang berada pada kelompok menengah, seperti jatuh ditimpa tangga pula. Di satu
sisi mereka kerepotan menghadapi pembengkakan biaya operasional, karena
terpapar dampak kenaikan harga BBM, baik yang secara langsung manpun tidak
langsung. Pada sisi yang lainnya, dalam waktu yang bersamaan usaha mereka
juga dikenakan PPh sebesar 1 persen dari total omset per bulan.
Hal
tersebut jelas akan sangat membebani UMKM itu sendiri. Bila saja dampak dari
dua kebijakan itu sangat buruk, maka persoalan yang muncul akan semakin
kompleks. Salah satunya, jika UMKM tersebut kolaps, maka para pekerja atau
karyawannya akan kehilangan pekerjaan. Angka pengangguran akan membengkak.
Namun uraian di atas, bukan pula bermaksud
menolak pengenaan pajak terhadap usaha kelas menengah dengan omset Rp 4,8
miliar per tahun. Yang perlu menjadi fokus perhatian pemerintah, janganlah
beban tersebut datang atau diberlakukan pada saat yang sama. Sebab dampaknya
finalnya justru negatif untuk kepentingan semua pihak. Makanya mesti diatur dan
dicari timing yang tepat dalam pemberlakuannya.
Selain itu, berbagai cost illegal birokrasi, pengutan liar (pungli),
pungutan semi liar, sumbangan ini dan itu, biaya parkir liar dan sejenisnya
yang menjadi beban bagi kegiatan UMKM mesti diminimalisir, jika
belum kuasa untuk ditiadakan.
Pemerintah juga mesti berupaya membangun
sebuah kondisi yang menguntungkan dan kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan UMKM. Ketika UMKM telah maju dan perkembang, maka di situlah
timing yang tepat untuk memberlakukan PPh sebesar 1 persen sebagaimana
yang dimasudkan PP 46 tahun 2013. **
Source artikel: http://www.harianhaluan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungannya di blog UMKM CIPATAT. Sudah baca artikelnya?, silahkan beri komentar dibawah. Dan berkomentarlah yang santun, No SARA atau Ejekan. Mohon untuk tidak melakukan spam yang tidak ada hubungannya dengan isi blog UMKM Cipatat. Jangan ragu untuk copy paste....kalau artikel ini dirasa bermanfaat, silahkan berbagi dengan yang lain dan selalu ingat dengan UMKM Cipatat.......OK !